EDUPUBLIK.COM, Bandung – Derap langkah usai pencanangan perang ke segala arah bagi perusak lingkungan di Jawa Barat, Gerakan Hejo menjelang usia tahun ke-2 pada November 2017, kembali diperkerap frekuensinya. Selasa pagi (24/10/2017) di Kawasan Eko Wisata dan Budaya Alam Santosa, Pasir Impun Kabupaten Bandung, berlangsung rapat kerja (Raker) membahas sejumlah masalah lingkungan yang semakin memburuk dalam 10 tahun terakhir di Jabar.
”Akhiri kompromi dengan perusak lingkungan. Pidanakan mereka. Tak peduli siapa pun, juga pimpinan daerah di provinsi ini,” cetus Eka Santosa Ketua Umum Gerakan Hejo – “Rakyat itu sejatinya penurut. Pangkal kerusakan lingkungan itu dari para pemimpinnya yang tak mau sadar lingkungan. Rakyatlah dikorbankan demi keuntungan sesaat, ”tutur Eka dengan wajah geram.
Uniknya, disela-sela mengupas topik “panas” di raker ini dibagikan 400 ribu ekor lebih bibit ikan ke 10 kota dan kabupaten yang memiliki potensi budi daya ikan air tawar. Bibit ini diperoleh langsung dari Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Dirjen Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto.
“Ibu Susi Pudjiastuti melalui Pak Dirjen memberi bibit tawes, lalawak, nilem, dan sedikit nila. Tiga bulan ke depan bila 50% bibit survive, akan dihasilkan 50 ton protein bagi warga. Gerakan Hejo hanya berperan sebagai mediator dan pembinaannya,” jelas Ir. Moh Husein yang akrab disapa Husein Lauk selaku salah satu pengurus di Gerakan Hejo.
“Program ini akan berlanjut, tahap nanti akan dilengkapi unsur permodalan bila memungkinkan. Sekarang, soal ini sedang digodog, melalui rintisan pendirian koperasi,” kata Agus Warsito, Sekertaris Umum Gerakan Hejo disela-sela pembagian bibit ikan.
Sementara itu H Djumhur Gofur Ketua Gerakan Hejo Kabupaten Karawang yang ditemani sekertarisnya Teguh Adha P, kala digelar sesi “curhat” di raker ini, mengapresiasi kegiatan pembagian bibit ikan air tawar. “Bedanya, kami di Karawang hari ini setelah mengetahui program pembagian ikan, Pak Sekda di daerah kami justru tergerak akan melakukan hal yang sama bagi pembudidaya ikan di daerah kami,” papar Djumhur yang disambut antusias oleh puluhan anggota Gerakan Hejo lainnya – “Jadinya kami tak harus ambil bibit ikan dari Bandung.”
“Contoh untuk kasus Pak H Djumhur, patut ditiru ia mampu berakselerasi baik bersama pimpinan daerah setempat. Ini kebalikannya, ada beberapa pimpinan daerah yang kurang respon, malah,” jelas Eka sambil memberi pernyataan lanjutan – “Urusan saya itu untuk nyintreukbupati dan walikota yang bandel, teu nyaah ka lingkungan dan rakyat.”
Permen 39 KLH.
Salah satu pembudidaya ikan asal Kabupaten Tasikmalaya, dari Desa Ciawang Kecamatan Leuwisari, Wahyu Setiawan merasa gembira dengan program pembagian benih ikan ini.”Program seperti ini yang ditunggu pembudidaya di lapangan. Bibit yang bagus memang dari pemerintah. Ini karena bersertifikat dan lolos uji.”
Sementara itu aktivis lingkungan Pak Komar yang berusia cukup lanjut dari Buah Dua Kabupaten Sumedang, secara sukarela ia menyumbangkan bibit ikan gabus unggulan dari sungai di daerahnya:”Ini saya bagikan agar, ikan asli dari daerah kita tetap lestari dan berkembang di pelosok Jabar. Sekarang kan ikan invasif justru banyak menggerus ikan lokal, paparnya dengan menambahkan:”Sayang, sekarang lingkungan kita sudah tercemar oleh pestisida dan polusi. Ini musuh bersama kita.”
Di luar apresiasi terhadap raker ini, muncul juga keprihatinan yang terbilang “hot topic”. Bahasannya terkait terbitnya Peraturan Menteri (Permen) 39 KLH yang dikenal di kalangan awam sebagai “bagi-bagi tanah di seputar hutan dengan bungkus hutan sosial”. Di luar dugaan, topik panas ini dibahas cukup mendalam dan meluas.
“Kami setujui paparan Kang Eka, Permen 39 KLH ini langsung saja utarakan ke Presiden Jokowi. Implementasi di lapangan, sudah menimbulkan konflik sosial, walau tujuan awalnya baik, demi mensejahterakan kantong kesmiskinan di sekitar hutan,” papar Wa Ratno, Ketua Gerakan Hejo Kabupaten Garut.
Menutup persoalan topik panas ini Eka menyatakan:”Kami kritisi Permen 39 KLH ini, dengan maksud tujuan awal mensejahterakan petani agar tidak putus di tengah jalan. Solusinya, pakailah lahan terlantar atau lahan eks HGU, misalnya. Jangan hutan tutupan yang dibabat. Itu kan tempat cadangan air.” [HS/SA]