Connect with us

Edu Sains

10 Tahun Lagi Indonesia Bisa Swasembada Daging Sapi

Published

on

Edupublik.com, Klaten – Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohammad Nasir menargetkan bahwa dalam 10 tahun mendatang Indonesia mampu mewujudkan swasembada pangan. Karena itu, ia meminta perguruan tinggi untuk dapat mendukung target ini melalui penerapan hasil-hasil riset di bidang pertanian maupun peternakan.

“Tidak cukup riset hanya disimpan di perpustakan, tapi harus bisa diterapkan di masyarakat,” ujarnya saat melakukan kunjungan kerja ke peternakan PT Widodo Makmur Perkasa di Klaten, (31/1/2017).

Dalam kesempatan ini ia turun secara langsung ke kandang-kandang sapi untuk melihat perbaikan genetika dari sapi yang dikembang biakkan di peternakan binaan Fakultas Peternakan UGM ini. Ia memberikan apresiasi terhadap UGM yang telah berkontribusi terhadap upaya swasembada di bidang peternakan dengan membangun Center of Excellence yang mampu memproduksi bibit sapi unggul.

“Pemerintah mendukung penuh inisiasi yang dilakukan oleh UGM dengan PT Widodo Makmur Perkasa. Saya optimis, swasembada daging diperkirakan 10 tahun ke depan bisa dilaksanakan,” kata Nasir.

Ia pun mendorong para peneliti di perguruan tinggi lain untuk turut mengembangkan inovasi dalam bidang peternakan untuk menyediakan bibit-bibit ternak unggul yang berkualitas dan bernilai jual tinggi. Untuk ternak sapi, misalnya, ia mengharapkan dapat dihasilkan sapi unggul yang bisa mencapai berat 500 hingga 600 kg pada usia 2 tahun.

Produksi bibit sapi unggul yang diinisiasi UGM bersama PT Widodo Makmur Perkasa dan University of Liege Belgia sendiri mampu menghasilkan ternak sapi dengan pertumbuhan cepat serta memiliki daging yang padat dan empuk. Saat ini telah lahir 12 ekor sapi unggul generasi pertama persilangan Belgian Blue Cattle dengan sapi Brahman. Sapi generasi pertama keturunan Belgian Blue ini kemudian akan dikawinkan dengan generasi pertama keturunan Brahman dengan pejantan sapi Wagyu. Hasil ketiga keturunan inilah yang nantinya akan dinamakan Lembu Gama sebagai breed composit.

“Keunggulan breed composit ini diharapkan akan lahir sapi-sapi yang adaptif dan produktif pada kondisi iklim tropik basah dari darah tetuanya yaitu sapi Brahman, kemudian memiliki daging yang empuk dari wagyu dan otot dobel dari Belgian Blue,” jelas Ali Agus Dekan Fakultas Peternakan UGM.

Bibit sapi unggul yang berhasil dikembangkan ini, menurutnya, dapat dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia untuk meningkatkan produksi daging sapi nasional. Karakter sapi Gama yang dihasilkan melalui persilangan ini, lanjut Ali, diharapkan dapat membantu mencukupi kebutuhan daging sapi di masa yang akan mendatang.

“Secara ringkas, kami berharap Lembu Gama akan menjadi produsen daging sapi dengan kualitas prima,” imbuh Ali.

Selain mengembangkan program breeding Lembu Gama, Fakultas Peternakan juga memiliki aktivitas Bengkel Ternak yang dapat memperbaiki ternak yang malnutrisi dengan intervensi teknologi pakan agar kembali menjadi sapi yang normal dan tumbuh bagus. [th]

Klik untuk komentar

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Edu Sains

Kecoak Makin Kebal Pestisida?

Published

on

photo search: via twitter

EDUPUBLIK – Kemajuan populasi manusia menjadi salah satu pendorong kepunahan spesies hewan lain. Sebut saja gajah, badak, harimau, yang makin tersingkir dari habitatnya. Tetapi hal tersebut rupanya tak berlaku pada kecoak

Studi yang mempelajari populasi kecoak Jerman (Blattella germanica) menunjukkan, spesies ini bahkan masih mampu bertahan hidup setelah diberi beberapa jenis obat pembunuh serangga.

Temuan tersebut mengungkap bahwa kecoak dapat mengembangkan resistensi terhadap pestisida yang bahkan belum pernah mereka temui.

Selama ini kecoak dianggap sebagai serangga pengganggu yang menyebarkan bakteri. Bagian tubuh mereka juga membawa alergen yang dapat memicu asma. Tak sedikit juga yang sangat histeris ketika melihat kecoak.

Pembasmian serangga biasanya mengandalkan berbagai kelas bahan kimia beracun. Jika kebal terhadap satu kelas, biasanya akan menyerah dengan yang lain.

Namun, kecoak Jerman mengembangkan resistensi silang. Artinya keturuan kecoak yang lahir, akan kebal terhadap racun yang belum pernah ditemui secara langsung.

“Kami belum memahami mengapa proses itu dapat terjadi secepat ini. Resistensi ini akan membuat kecoak makin sulit dikendalikan hanya dengan bahan kimia saja,” kata Michael Scharf, Peneliti dari Purdue University.

Peneliti pun mengadakan percobaan untuk mengevaluasi bagaimana kecoak mengembangkan resistensi terhadap pestisida selama beberapa generasi. Dengan harapan, peneliti dapat menemukan metode pemberantasan yang optimal.

Mereka lantas mengumpulkan sampel kecoak dari apartemen di beberapa tempat di Danville, Illinois, dan Indianapolis. Kecoak yang sudah ditangkap kemudian disimpan di laboratorium dalam populasi terpisah untuk mempelajari resistensi.

Populasi pertama mendapatkan satu jenis pestisida. Sedangkan kelompok lainnya diberikan dua pestisida yang berbeda. Sementara kelompok terakhir mendapatkan tiga jenis pestisida yang diberikan secara bergiliran.

Hasil dari studi menunjukkan, kalau kecoak yang diberikan beberapa jenis pestisida justru lebih kebal dibandingkan dengan kecoak yang hanya diberi satu jenis pestisida.

Masalah ini diduga muncul karena resistensi silang. Artinya kecoak tidak hanya kebal terhadap pestisida yang ditemui pada saat itu, melainkan secara tak terduga menunjukkan tanda-tanda resistensi terhadap kelas pestisida lainnya.

Scharf pun menambahkan, membersihkan rumah dari kecoak akan membutuhkan strategi yang lebih kompleks daripada menggunakan pestisida saja.

Kombinasi itu misalnya dengan lebih memperhatikan sanitasi, maupun perangkap dapat lebih efektif dibandingkan hanya mengandalkan pestisida saja.

Penelitian ini dipublikasikan dalam Scientific Reports. Demikian seperti di kutip kompas.com

Continue Reading

Edu Sains

Lapan Ajak Masyarakat Matikan Lampu

Published

on

Edupublik.com – Bertepatan dengan Hari Keantariksaan yang jatuh pada 6 Agustus 2017, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mengajak masyarakat mematikan lampu selama satu jam di malam hari guna mengurangi polusi cahaya.

Seperti dikutip Antara, Kepala Lapan Thomas Djamaluddin di Jakarta, Sabtu, mengatakan Hari Keantariksaan telah ditetapkan bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan pada 6 Agustus 2013.

Sejak 2016, untuk merayakan Hari Keantariksaan, Lapan mengkampanyekan Malam Langit Gelap guna mengajak masyarakat mengurangi polusi cahaya sekaligus emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan mematikan lampu selama satu jam pada pukul 20.00 sampai dengan 21.00 WIB.

Alasan lain mengkampanyekan Malam Langit Gelap bertepatan Hari Keantariksaan, menurut Thomas, karena saat memasuki musim kemarau yang terjadi pada bulan Agustus berpeluang tinggi untuk mengamati langit cerah bertabur bintang.

Pada Malam Langit Gelap 2016, nampak Galaksi Bima Sakti dengan ratusan miliar bintang membentang dari utara ke selatan. Kemudian, rasi Angsa atau Cygnus di langit utara dengan segitiga Musim Panas atau Summer Triangle, tiga bintang terang di sekitar Rasi Angsa yaitu Vega, Deneb, dan Altair.

Sementara di langit selatan, terlihat rasi Layang-Layang atau Salib Selatan (Crux) yang biasa digunakan sebagai penunjuk arah selatan. Demikian juga rasi Kalajengking (Scorpio) dengan bintang terang Antares persis di atas kepala.

Sedangkan pada Malam Langit Gelap kali ini, langit malam akan diterangi bulan yang hampir purnama sehingga masyarakat bisa mengamati wajah bulan di langit timur dengan mare “laut” bulan yang tampak gelap beserta kawah-kawah di bulan. Selain itu, di langit barat ada Jupiter, planet terbesar di tata surya yang tampak seperti bintang terang.

Namun yang menjadi tantangan bagi masyarakat perkotaan untuk bisa melihat gugusan bintang, menurut dia, adalah sorotan cahaya lampu kota yang membiaskan kenampakan gugusan bintang-bintang yang cantik tersebut.

Sebelumnya Thomas telah menyampaikan cara sederhana bagi masyarakat untuk mengurangi polusi cahaya, yakni dengan mengurangi penggunaan lampu yang tidak perlu terutama di luar ruang. Dan mengarahkan lampu yang cahayanya menyorot ke bawah dan bukan ke langit, misalnya menggunakan tudung lampu. [ant]

Continue Reading

Edu Sains

1.280 siswa ikut Olimpiade Sains Nasional 2017 di Pekanbaru

Published

on

Edupublik.com – Olimpiade Sains Nasional 2017 di Kota Pekanbaru akan memperebutkan 420 medali pada 11 bidang lomba.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Hamid Muhammad pada pembukaan OSN di Pekanbaru, Senin, mengatakan penyelenggaraan OSN juga dilakukan untuk membina dan mengembangkan bakat, minat, dan prestasi peserta didik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Diselenggarakannya OSN juga bertujuan untuk membina karakter peserta didik agar berintegritas, jujur, pekerja keras, menghargai prestasi, tangguh, dan cinta tanah air,” katanya.

Para peserta akan berlaga dalam 11 bidang lomba yaitu matematika, IPA, IPS, informatika/komputer, fisika, kimia, biologi, kebumian, geografi, astronomi dan ekonomi. Mereka akan memperebutkan 420 medali yakni 70 medali emas, 140 medali perak, dan 210 medali perunggu.

“Para juara akan mendapatkan medali, uang pembinaan, dan piagam penghargaan dan akan dinominasikan untuk diikutsertakan pada olimpiade sains tingkat internasional,” kata Hamid.

Olimpiade tahun ke-16 ini diselenggarakan pada tanggal 3 hingga 8 Juli 2017.

Lokasi lomba tersebar di beberapa tempat di kota Pekanbaru dan sekitarnya seperti SMP Darma Yudha, SMA 1 Pekanbaru, SMAN 8 Pekanbaru, SMK Labor, SMA Plus Riau, SMA Cendana, Universitas Negeri Riau, Politeknik Caltek Riau, dan aula Hotel Furaya Pekanbaru.

Keseluruhan peserta berjumlah 1.280 siswa, terdiri dari tingkat SD/MI sebanyak 204 siswa, SMP/MTs 396 Siswa, dan SMA/MA 680 siswa.

Apabila ditambah dengan pendamping, pembina, juri, asisten juri, panitia pusat, dan panitia daerah, maka jumlah keseluruhan partisipan OSN Tahun 2017 sebanyak 2.024 orang. [ant]

photo credit: OSN 2017/via: twitter

Continue Reading

Terpopuler